Publik Pasar Senen

Saat berbelanja menjadi syarat sebuah interaksi.

Keluhan tentang ruang publik cukup umum keluar dari mulut warga Jakarta. Salah satunya adalah dari mulut temanku. “Di Jakarta ini, apa semua orang harus individual, ya? Sudah minim ruang publik, yang bisa dimanfaatkan lebih minim lagi. Masa ruang publik kita mal, sih? Orang-orang yang pergi ke mal juga jalannya sendiri-sendiri. Jadi kapan menjadi publiknya?”

Aku lalu menanggapi keluhannya itu dengan, “Memangnya kalau kita sudah berada di ruang publik atau transportasi publik lalu kita berhenti menjadi individu yang individual? Sesering apa kita berbicara atau menyapa orang yang duduk di sebelah kita di bis atau angkot? Lebih sering mana dengan pura-pura tidur, memasang earphone, membaca buku, atau sibuk dengan ponsel cerdas kita? Padahal kita sudah menempel lekat tak berjarak dengan manusia yang di sebelah kita itu. Atau mungkin pada dasarnya kita memang tidak pernah se-publik itu.”

Tetapi saya rasa mungkin memang begitu adanya. Berada di dalam ruang yang disebut sebagai ruang publik justru membuat kita semakin memperkuat ruang pribadi kita. Kita hanya menjadi manusia yang mempunyai hak yang sama dalam mengakses dan menikmati fasilitas umum tersebut. Tapi bukan berarti pada saat kita sama-sama berada di satu ruang lantas kita menjadi satu kelompok (atau menjadi kami).

Kalau kita sadar akan naluri ini, maka kita tidak akan menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap ruang publik. Toh, kebanyakan sebuah ruang disebut sebagai ruang publik hanya karena ia dimiliki oleh pemerintah, bukan swasta atau perorangan.

Kecuali, jika bukan istilah ruang publik yang dipermasalahkan temanku tadi. Sepertinya ia menjadi gelisah karena mengharapkan adanya ruang publik yang benar-benar dipakai sebagai ruang berinteraksi oleh masyarakat Jakarta. Berdasarkan pengalaman pribadi, kemudian aku memberikan usulan tentang ruang yang sebaiknya ia kunjungi. Di dalam ruang ini, orang benar-benar berinteraksi.

Tempat ini bukan taman atau lapangan, bukan pula museum atau stasiun. Tempat ini adalah tempat belanja favoritku, yaitu Senen, tepatnya pasar baju bekas Senen. Sebuah tempat yang menawarkan inspirasi gaya dan cara mengelola nafsu konsumtif. Sebuah surga dimana setelah dari sana bisa pulang membawa gaun-gaun indah, rok vintage, kaos keren, blazer klasik dan sebagainya dalam satu waktu, tanpa harus menggesek kartu kredit atau menarik uang begitu banyak dari mesin ATM.

Memang, aku tahu, artinya ruang yang aku usulkan ini adalah ruang yang dikomersilkan, bukan? Kemudian orang akan berpikir tidak bisa mengakses ruang ini jika mereka menolak mengubah dirinya dari warga menjadi konsumen.

Biarlah premis itu tetap berlangsung. Yang pasti aku bisa meyakinkan temanku jika tempat belanja ini akan memberikan kepuasan batin dari interaksi sosial di dalamnya, asalkan kita mau keluar dari persepsi mengenai bentuk tipikal ruang publik yang ada saat ini. Sebagai tambahannya, di sini kita bisa merasa sebagai komunitas Pasar Senen, bukan sekadar manusia-manusia lepas yang kebetulan berbelanja di suatu department store. Karena untuk bisa menikmati pasar ini sebagai ruang publik, kita harus bisa menyesuaikan diri dan menyatu dengan lingkungan sosialnya juga.

Lingkungan fisik dan sosial kawasan Senen memang terbilang ‘keras’, yakni berada di bahu jalan (atau tepatnya memang di jalan) dan di bawah atap terpal biru. Sirkulasi udara di ruang berbayang biru ini sangat minim, karena angin memang hanya bisa menerobos sedikit-sedikit dari celah-celah kecil di antara deretan pakaian atau sepatu. Tak hanya panas – atau malah terkadang becek pada musim hujan – tapi berada di ruang ini juga menantang karena hembusan aroma-aroma pesing di sela-sela bau khas yang menyebar dari baju-baju bekas yang baru dikeluarkan dari karungnya.

Di luar penampilan fisiknya, secara sosial Pasar Senen juga bukan kawasan yang nyaman untuk semua orang. Siapa yang tidak kenal pencopet Senen? Senen adalah salah satu kawasan yang rawan kriminalitas. Senen bahkan dijuluki sebagai kampusnya para pencopet dengan ketrampilan tinggi. Kelas-kelas praktikumnya tersebar di sekitar kawasan ini, mulai dari stasiun, terminal, pasar, hingga pasar baju bekas Senen.

Pada kunjungan pertama, ketakutanku ini langsung terbukti. Seorang teman, yang mengajak ke tempat ini, kehilangan telepon genggamnya. Sungguh sebuah kesan pertama yang sulit dilupakan. Akan tetapi, kesan ini tak membuat kami urung untuk mulai berburu barang-barang bagus. Dan karena hasil belanjaan kami memuaskan, maka kami pun lupa pada rasa takut dan kesal akibat kehilangan ponsel tadi.

Setelah hari itu, tak lama kemudian aku kembali belanja di Senen, untuk yang ke dua kali, ke tiga, ke empat sampai akhirnya menjadi tempat belanja rutinku.

Anda tak butuh waktu lama untuk merasa familiar dengan para pedagang setelah berkali-kali datang ke tempat ini. Setelah kunjungan ke tiga kali, aku hapal benar dimana tempat membeli gaun yang paling bagus dengan harga kompetitif. Aku tahu di sudut mana bisa mendapatkan rok-rok vintage yang menurutku luar biasa indah. Aku juga hapal ‘abang’ yang mana yang menjual blazer yang paling keren. Kalau pun Anda sulit mengahapal wajah penjual atau letak los – karena memang mudah menjadi disorientasi di sini – para pedaganglah yang akan ‘menemukan’ dan menghapal wajah Anda.

Tak sekadar semakin jatuh cinta dengan barang-barang yang ditawarkan, aku pun mulai menikmati saut-menyaut celoteh para pedagang baju dan aksesori ini. seorang pedagang berwajah sangar dengan kancing terbuka yang memperlihatkan bulu dadanya teriak-teriak minta dipegang-pegang, “Pegang saja, pegang saja. Nggak dibayar abang nggak marah, asal Si Neng mau pegang barang abang!”

Pernah aku mendengar sepasang pedagang seakan sedang menggelar sesi drama dari kejauhan. Suara itu pun seakan menarikku untuk mendekatinya.
Pedagang I: “Apa itu, bang?”
Pedagang II: “Barang abang, neng.”
Pedagang I: “Bagus kagak, bang?”
Pedagang II: “Ya, bagus, dong, neng,”
Pedagang I: “Mahal kagak, bang?”
Pedagang II: “Kagak. Lihat dong, sini.”
Dan tak sadar, aku pun sudah berada di depan dua abang-abang penjual tas, memegang tas yang mereka jual sambil menyimak adegan apa lagi yang akan mereka tampilkan.

Dialog yang menggelitik juga terjadi saat di pedagang salah menyebutkan barang dagangannya. “Duh, cantik bener, neng, pakai daster macan buat di dapur.” Aku pun langsung protes, “Itu, khan, motif ular.” Lalu kami pun terjebak dalam perdebatan tentang macan dan ular. Temanku malah pernah dibuat kaget sekaligus geli saat sedang menawar harga, tiba-tiba si pedagang mengatakan, “Masa cuma karena uang tiga ribu perak kita cerai, neng?”

Tak jarang setelah aksi tawar-menawar yang cukup menggoda, akhirnya malah si abang yang mengalah.

Memperlama proses tawar-menawar juga merupakan cara untuk menjalin kedekatan emosional dengan komunitas di sini. Dengan strategi ini, aku tak butuh waktu terlalu lama untuk dikenali oleh para pedagang. Cukup berbelanja dua kali di tempat yang sama dengan aksi tawar-menawar dengan tarik-ulur yang cukup panjang, aku kemudian mendapat pelayanan yang jauh lebih bersahabat pada kedatangan yang ke tiga.

Tak terasa, aku sudah menjadi publik Pasar Senen. Jika kita sudah mencapai tahap ini, maka menerima telepon genggam, atau memotret dengan kamera mahal pun terasa nyaman tanpa ketakutan akan dijambret.

Untuk mereka yang enggan terlibat dalam saut-menyaut tersebut, berinteraksi di sini tetap memungkinkan. Cukup memegang-megang barang yang ditawarkan di meja, lalu tunjukkan raut wajah tak tertarik, maka kita sudah melakukan interaksi sosial dan menjadi bagian dari komunitas Pasar Senen.

Ada sedikit tip yang bisa membuat Anda lebih mudah nyaman di tempat ini. Aturan terpenting di sini adalah jangan menarik perhatian. Tanggalkan kaca mata, sepatu, atau perhiasan jika barang-barang tersebut belum ‘menyatu’ dengan organ tubuh Anda. Hapus raut wajah cemas yang memperjelas jika Anda bukan bagian dari komunitas Senen dan memiliki barang berharga untuk dicopet. Tampang seperti ini justru akan mendekatkan Anda dengan para copet. Sebaiknya tunda berpakaian seksi atau bling-bling. Lalu jangan berlagak seperti turis yang banyak mengeluh: mengeluh panas, mengeluh bau, mengeluh sumpek, mengeluh lelah, dan sebagainya.

Yang juga harus diingat saat berada di Pasar Senen adalah tetap waspada dan waras. Terang-terangan kalap mendengar harga yang ditawarkan – karena Anda membandingkannya dengan harga produk di mal – bukan tindakan yang bijaksana. Menawarlah, walaupun Anda mampu membayar barang dengan harga pembukaan. Selain itu, tetap usahakan untuk meminimalkan friksi. Karena umumnya para pencopet menabrak atau menyentuh Anda saat beraksi. Pastikan tas dan barang-barang Anda dalam keadaan aman.

Lalu yang terakhir, dan paling penting, datanglah ke Pasar Senen karena Anda ingin berbelanja. Belilah sesuatu, walau hanya sepotong kaos. Toh semua barang yang dijual di sini harganya terjangkau. Masih ada rok seharga Rp10ribu per tiga potong, atau gaun seharga Rp15ribu per dua potong. Selain membeli adalah bagian dari interaksinya, tempat ini sungguh bukan tempat untuk berjalan-jalan.

Bagiamana pun juga, meski Anda datang sebagai peneliti atau jurnalis, tenaga dan keringat Anda akan lebih terbayar jika di akhir sosialisasinya Anda menjinjing barang-barang bagus yang Anda dapatkan setelah proses tawar-menawar yang penuh perjuangan.

Lalu dengan sayup-sayup lagu “Kangen” (versi almarhum Chrisye dan Sophia Latjuba) yang mengalun dari radio salah satu pedagang di pojokan, kita tahu, Pasar Senen selalu terbuka untuk menyambut manusia-manusia yang haus berinteraksi. “Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya menahan rasa ingin jumpa….”

 

 

Tulisan ini ditulis tahun 2006 sebelum ada busway dan pasar baju bekas dipindah ke dalam gedung Pasar Senen.

About gitahastarika

Arsip kerjaan dan bukan kerjaan.

20 comments

  1. sekarang katanya udah ga rawan2 amat, n udah rapian kalo saya baca2 tulisan2 di blog yang lain

    • gitahastarika

      Memang sudah banyak berubah setelah dipindah ke dalam gedung, karena itu saya upload tulisan jadul ini. Sampai sekarang saya juga masih belanja di Senen. Sekarang barang2nya mulai bagus lagi. Mau belanja bareng?

  2. gitahastarika

    Masih murah tapi gak semurah dulu. rok 10rb=3 udah gak ada lagi, dan mrk bs buka harga mulai 60rb. klo jam tangan itu baru, khan? Itu beda gedung. Kalau barang2 yg lusinan dan baru itu ada gedung di sebelahnya. Yang dijual jam tangan, aksesori, tas, sepatu KW2 gitu. Duh, gue anak Senen banget, yak?

    • iya baru sejenis gitu, wah kecewa deh, padahal dah ngiler pengen baju Rp 1.000 haha…
      Soalnya ceki2 ke tanah abang aja menurut aku masih mahal baju2nya…mutu juga standar
      TQ yah infonya, xD

  3. aku mau tanya donk, rencana besok mau ke sana, tutupnya jam berapa ya? aku sih dari grogol ke sana naik kopami P12, hehe

  4. Kamis besok mau ke jkt nih daaan rencana jumat ke pasar senen. Yuk belanja bareng, mungkin anda bisa menjadi semacam ‘shopping guide’ saya hehehe ^^

    • Maaf, gak bisa menemani. Selamat bersenang-senang di Senen. Jangan lupa nawar dan hati2 barang bawaannya jgn sampai berpindah tangan. :))

    • lin lin

      “Paket Wirausaha Baju”
      Ini isi bal beserta harga nya.
      LR GOLD CLOTHING menyediakan baju import »
      BAL KHUSUS BUTIK : (tank top, dress, blouse,
      blouse kemeja, kaos, kardigan) @ 8,5jt isi +-700.
      BAL CAMPUR JPG: (tank top, dress, blouse,
      blouse kemeja, kaos, kemeja katun & sutra,
      lingerie, kardigan) @ 6,850 jt isi +-700.
      BAL DRESS : (daster, dress katun ABG- umur
      30an, dress sifon all age, lingerie) @ 6,950 jt isi +- 350.
      BAL SUPER DRESS JPG: (dress katun & sifon ABG – umur
      30an, gaun malam, MAXI dress) @ 7,450 jt isi +- 350.
      KW 3 isi +- 150 pcs harga 2,8 jt
      Tambahan Produk:
      BAL CAMPUR JPG GRADE A @7,3jt: (tank top,
      dress, blouse, blouse kemeja, kaos, kemeja katun & sutra,
      lingerie, kardigan) porsi kw butikna lebih banyak drpd bal campur
      biasa, agak tengah2na bal campur ke bal butik. Tp kl mau ini bal
      DP 1jt, belum tentu 1bln dpt brgna.
      » Minat hub » Linzata LR GOLD clothing » 087878051540

  5. Mira Rasyid

    Setuju banget dengan tulisan ini. Kemarin untuk pertama kalinya saya ke pasar senen, dan melakukan interaksi dengan para pedagang disana. Hasilnya, belanja jadi sangat nyaman dan menyenangkan. Malah menurut saya, pasar senen sangat ramah terhadap saya. Salam kenal 🙂

  6. dhian

    gan tanya dong kalo tempatnya itu disebelah mana terminal ya,, saya penasaran pengen kesana tapi gak tau tepatnya di mana,, infonya dongse 😀

    • Di sebelahnya langsung. Kalo dr arah Gunung Sahari turun di terminalnya di luar aja. Tinggal jalan ke depan aja dikit, trs nanti masuk deh Pasar Senen. Tanya aja yg baju bekas, bukan yg toko2 tas. Nanti ada eskalator naik udah sampe.

  7. liws

    Kios di psr senen yg jual blazer&jaket kulit keren disebelah mana ya?mohon infonya kaka^^

  8. rezky the coco

    saat ini kondisinya gimana yah?
    apa masih murah2?
    lagi nyari kaos bola yg second tapi grade ORI :p
    buat main harian aja

Leave a reply to Kimochi Olstore Cancel reply